Wednesday, March 13, 2013

You'll Never Walk Alone

Dengan setting tempat Stasiun UI, gue lagi nunggu Commuter Line tujuan Bogor yang menurut speaker baru sampai di Bantar Gebang. Pas gue lagi dengan antengnya nunggu sambil baca koran, tiba- tiba dateng seorang wanita—kira- kira sekitar 30-40an—duduk di sebelah gue. Awalnya gue ga sadar sampai akhirnya dia bilang:

“Dek, bagi uang dua ribu, dong”
              
              Gue kaget. Pakai bengong dulu.
           
 “Oh iya bu. Sebentar,” gue dengan panik langsung berdiri berusaha ngambil dua ribuan yang entah gue punya apa engga. Gue sadar, dari cara ngomong dan kelusuhan pakaiannya, lawan bicara gue ini adalah seseorang yang agak kurang waras. Gue nyari dua ribuan kayak sambil dikejer pamong praja, adrenalin gue terpacu. Begitu dapet selembar uang seribu dan dua receh lima ratusan, gue langsung kasih ke ibu itu.


            “Ini bu uangnya,” kata gue berlagak santai padahal urat di jidat gue udah pada keluar.

            “Hehehe, makasih ya. Tadi duit saya lima ribu jatoh di kereta”

            “OH.”

Sekilas lagi gue amati, wanita ini megang sebuah buku catetan yang terlihat penuh coretan hitungan harga. Dia juga megang pulpen yang dia pake buat nulis bukunya itu. Setelah hening beberapa menit, dia nanya gue:

            “Dek, kereta masih lama ya?”

      “Hm, iya sepertinya bu,” Gue jawab alakadarnya dan sediplomatis mungkin supaya ga memicu timbulnya percakapan lebih lanjut. Dan terbukti berhasil. Ngga lama setelah itu, dia langsung pindah ke deretan kursi sebelah. Mungkin malak orang lain dan berdalih kalo uang lima ribuannya terus jatoh di kereta. Gue ga peduli, yang jelas gue lega banget. Gue narik napas dalem- dalem dan menghembuskannya panjang kayak di film- film.

            “Dek, Bogor masih lama ya?”
           
 Tiba- tiba ada suara (lagi) yang menanyakan hal yang sama (lagi). Gue melihat ke sumber suara di sebelah kiri gue. Ternyata seorang mas- mas berperawakan kecil dengan baju koko putih dari atas sampai bawah.
          
        “Dari keadaan cuaca yang cukup cerah dan posisi awan yang agak renggang nampaknya begitu mas,” jawab gue sotoy.
          
Situasi hening.
  
          “Mas, ibu- ibu tadi dulunya orang kaya loh,” katanya kembali memulai percakapan. 

         “Oh ya? Mas tau?”

        “Dulu itu dia pengusaha semacam perusahaan kabel- kabel gitu. Dia punya beberapa cabang pabrik. Wah, dia kaya banget loh dek”
      
      “Lah kok sekarang bisa jadi begitu mas Mas kenal sama dia?”
      
      “Iya, sayangnya dia ditipu sama suaminya sendiri. Dia juga ditinggal sama suaminya yang lari sama istri mudanya. Saya kenal sama suaminya. Beberapa pabriknya pun kena musibah kebakaran sampai habis dek.  Ya, kira- kira sejak saat itu dia mulai ga waras. “
  
       “Kasian banget mas”

     “Iya dek. Dia sempet dibawa sama keluarganya ke Bukittinggi soalnya semua kerabatnya di sana. Tapi entah gimana dia tiba- tiba bisa muncul lagi di sini dek. Padahal dia masih punya rumah mewah loh di PK. Saya juga kasian sama anaknya.”

            Gue agak tertegun sekaligus kasihan ngedenger cerita mas- mas ini.

       “Tadi adek ngeliat dia bawa buku gitu kan? Nah dia itu mungkin masih kebiasaan nulis- nulis catatan keuangannya pas masih usaha dulu”
  
Gue ngelihat ke arah deretan kursi sebelah. Dia masih di situ dengan pakaian bolong- bolongnya. Tatapannya kosong. Seringkali dia menulis sesuatu di buku kecilnya. Baru terbayang oleh gue bagaimana seorang yang berpakaian lusuh dan berwatak ‘gila’ memiliki masa lalu yang sukses dan dilimpahi kekayaan. Bagaimana seseorang yang dulu memiliki banyak pabrik dan rumah mewah, sekarang tak lebih dari seorang tunawisma yang  tidur di emperan jalan.

            “Mas asli orang sini?” tanya gue mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

            “Saya aslinya orang Jogja tapi udah lama di Depok.”

            “Mas, ke Bogor ada apa?” gue mulai kepo.

“Saya mau nganter obat ke Bojong Gede sebenernya dek. Alhamdulillah, saya punya usaha obat- obatan herbal. Punya beberapa toko tapi yang di stasiun kena gusur dek hehe begitulah,” katanya sambil tersenyum.

“Oh yang sempet rame itu mas?”

“Iya, dek. Alhamdulillah, tapi sekarang saya udah buka toko lagi di pinggiran jalan. Lumayanlah. Walau Cuma usaha kecil- kecilan asal halal dan cukup udah Alhamdulillah kok.”

Gue kembali tertegun dan berpikir. Gue dihadapkan pada dua hal yang berlawanan. First case, ada seorang wanita kaya raya yang punya banyak usaha dan pabrik, tapi jadi gila ‘hanya’ karena ditinggal suami dan kebakaran beberapa pabriknya padahal dia masih punya keluarga, anak, dan sisa kekayaan yang ga bisa dibilang sedikit. The otherwise, ada juga seorang mas- mas berbaju koko putih yang tetap tegar dan semangat meski hidupnya tergolong susah, bahkan tokonya pun sempat terkena gusuran.

What differs them both?

Anyway, sebagai seorang Liverpudlian, gue sangat mengagumi tagline dari Liverpool yang tertera di lambangnya.

“You’ll Never Walk Alone”—Kamu tidak akan berjalan sendirian.


Setiap orang tentu punya masalahnya masing- masing, contohnya gue yang punya masalah sama berat badan dan panjang rambut gue. Masalah memang selalu muncul, either satu per satu atau mungkin berbarengan. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita menyelesaikan masalah. Ada yang memilih untuk tetap tegar dan berusaha bangkit dan ada pula yang pasrah dalam keterpurukan bahkan sampai menjadi gila.
 It depends on ourselves. Not anyone’s but ours.
Dan, ketika lo merasa semua beban dan masalah udah benar- benar membuat lo ‘muak’ dan ga tahan, ketika lo merasa ga ada seorang pun yang bisa membantu, ketika masalah itu adalah orang- orang di sekitar lo, ketika lo merasa hidup lo udah ga ada artinya, tekankan lah bahwa ada satu pihak yang selalu ada di sisi lo, no matter how hard your life is.

He is GOD.[1]


Stick on your mind that even in the hardest part of your life, the toughest problem you ever face, the sickest people you deal with; Remember, You’ll Never Walk Alone.


Dalam kasus sebelumnya, memang cobaan yang dialami si ibu itu berat, TETAPI dia lupa bahwa selalu ada TUHAN yang bersamanya. Dia lupa bahwa ada yang namanya DOA dan MEMOHON kepadanya. Pada akhirnya, hanya TUHAN-lah tempat kita bergantung. Dan, hal itu dilkakukan oleh mas- mas berbaju koko. Meskipun hidupnya sulit dan penuh cobaan, dia tetap beristiqomah dan menyerahkan segala hasil dari jerih payahnya pada TUHAN. He does believe in God.
Tulisan gue ini mungkin terbaca seperti seorang yang hipokrit. Gue juga terkadang ‘menjauh’ dari-Nya ketika ditimpa masalah. Tapi pengalaman gue ini banyak membuka pemahaman gue tentang hidup. Setiap oraang punya jalan hidupnya masing- masing. Mereka pun pasti mempunyai masalahnya sendiri- sendiri. Dan, semua bergantung pada diri mereka lagi, entah berserah kepada tuhan atau malah menjauh darinya.

***
Percakapan gue dengan mas-mas-berbaju-koko itu pun berakhir ketika kita sama- sama masuk kereta.



           
  


[1] In my belief it’s Allah SWT.

No comments:

Post a Comment

Share you wacky thought, buddy!