Dengan
setting tempat Stasiun UI, gue lagi nunggu Commuter Line tujuan Bogor yang
menurut speaker baru sampai di Bantar Gebang. Pas gue lagi dengan antengnya
nunggu sambil baca koran, tiba- tiba dateng seorang wanita—kira- kira sekitar
30-40an—duduk di sebelah gue. Awalnya gue ga sadar sampai akhirnya dia bilang:
“Dek, bagi
uang dua ribu, dong”
Gue kaget. Pakai bengong dulu.
“Oh iya bu. Sebentar,” gue dengan
panik langsung berdiri berusaha ngambil dua ribuan yang entah gue punya apa
engga. Gue sadar, dari cara ngomong dan kelusuhan pakaiannya, lawan bicara gue
ini adalah seseorang yang agak kurang waras. Gue nyari dua ribuan kayak sambil
dikejer pamong praja, adrenalin gue terpacu. Begitu dapet selembar uang seribu
dan dua receh lima ratusan, gue langsung kasih ke ibu itu.
“Ini bu uangnya,” kata gue berlagak
santai padahal urat di jidat gue udah pada keluar.
“Hehehe, makasih ya. Tadi duit saya
lima ribu jatoh di kereta”
“OH.”
Sekilas lagi
gue amati, wanita ini megang sebuah buku catetan yang terlihat penuh coretan hitungan
harga. Dia juga megang pulpen yang dia pake buat nulis bukunya itu. Setelah
hening beberapa menit, dia nanya gue:
“Dek, kereta masih lama ya?”
“Hm, iya sepertinya bu,” Gue jawab
alakadarnya dan sediplomatis mungkin supaya ga memicu timbulnya percakapan
lebih lanjut. Dan terbukti berhasil. Ngga lama setelah itu, dia langsung pindah
ke deretan kursi sebelah. Mungkin malak orang lain dan berdalih kalo uang lima
ribuannya terus jatoh di kereta. Gue ga peduli, yang jelas gue lega banget. Gue
narik napas dalem- dalem dan menghembuskannya panjang kayak di film- film.
“Dek, Bogor masih lama ya?”
Tiba- tiba ada suara (lagi) yang
menanyakan hal yang sama (lagi). Gue melihat ke sumber suara di sebelah kiri
gue. Ternyata seorang mas- mas berperawakan kecil dengan baju koko putih dari
atas sampai bawah.
“Dari keadaan cuaca yang cukup cerah
dan posisi awan yang agak renggang nampaknya begitu mas,” jawab gue sotoy.
Situasi hening.
“Mas, ibu- ibu tadi dulunya orang
kaya loh,” katanya kembali memulai percakapan.
“Oh ya? Mas tau?”
“Dulu itu dia pengusaha semacam
perusahaan kabel- kabel gitu. Dia punya beberapa cabang pabrik. Wah, dia kaya
banget loh dek”
“Lah kok sekarang bisa jadi begitu
mas Mas kenal sama dia?”
“Iya, sayangnya dia ditipu sama
suaminya sendiri. Dia juga ditinggal sama suaminya yang lari sama istri
mudanya. Saya kenal sama suaminya. Beberapa pabriknya pun kena musibah
kebakaran sampai habis dek. Ya, kira-
kira sejak saat itu dia mulai ga waras. “
“Kasian banget mas”
“Iya dek. Dia sempet dibawa sama
keluarganya ke Bukittinggi soalnya semua kerabatnya di sana. Tapi entah gimana
dia tiba- tiba bisa muncul lagi di sini dek. Padahal dia masih punya rumah
mewah loh di PK. Saya juga kasian sama anaknya.”
Gue agak tertegun sekaligus kasihan
ngedenger cerita mas- mas ini.
“Tadi adek ngeliat dia bawa buku
gitu kan? Nah dia itu mungkin masih kebiasaan nulis- nulis catatan keuangannya
pas masih usaha dulu”
Gue ngelihat ke arah deretan kursi
sebelah. Dia masih di situ dengan pakaian bolong- bolongnya. Tatapannya kosong.
Seringkali dia menulis sesuatu di buku kecilnya. Baru terbayang oleh gue
bagaimana seorang yang berpakaian lusuh dan berwatak ‘gila’ memiliki masa lalu
yang sukses dan dilimpahi kekayaan. Bagaimana seseorang yang dulu memiliki
banyak pabrik dan rumah mewah, sekarang tak lebih dari seorang tunawisma yang tidur di emperan jalan.
“Mas asli orang sini?” tanya gue mencoba
mengalihkan topik pembicaraan.
“Saya aslinya orang Jogja tapi udah
lama di Depok.”
“Mas, ke Bogor ada apa?” gue mulai
kepo.
“Saya mau
nganter obat ke Bojong Gede sebenernya dek. Alhamdulillah, saya punya usaha obat-
obatan herbal. Punya beberapa toko tapi yang di stasiun kena gusur dek hehe
begitulah,” katanya sambil tersenyum.
“Oh yang
sempet rame itu mas?”
“Iya, dek.
Alhamdulillah, tapi sekarang saya udah buka toko lagi di pinggiran jalan.
Lumayanlah. Walau Cuma usaha kecil- kecilan asal halal dan cukup udah Alhamdulillah
kok.”
Gue kembali
tertegun dan berpikir. Gue dihadapkan pada dua hal yang berlawanan. First case,
ada seorang wanita kaya raya yang punya banyak usaha dan pabrik, tapi jadi gila
‘hanya’ karena ditinggal suami dan kebakaran beberapa pabriknya padahal dia
masih punya keluarga, anak, dan sisa kekayaan yang ga bisa dibilang sedikit.
The otherwise, ada juga seorang mas- mas berbaju koko putih yang tetap tegar
dan semangat meski hidupnya tergolong susah, bahkan tokonya pun sempat terkena
gusuran.
What differs
them both?
Anyway,
sebagai seorang Liverpudlian, gue sangat mengagumi tagline dari Liverpool yang
tertera di lambangnya.
“You’ll
Never Walk Alone”—Kamu tidak akan berjalan sendirian.
Setiap orang
tentu punya masalahnya masing- masing, contohnya gue yang punya masalah sama
berat badan dan panjang rambut gue. Masalah memang selalu muncul, either satu
per satu atau mungkin berbarengan. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita
menyelesaikan masalah. Ada yang memilih untuk tetap tegar dan berusaha bangkit
dan ada pula yang pasrah dalam keterpurukan bahkan sampai menjadi gila.
It depends on ourselves. Not anyone’s but
ours.
Dan, ketika
lo merasa semua beban dan masalah udah benar- benar membuat lo ‘muak’ dan ga
tahan, ketika lo merasa ga ada seorang pun yang bisa membantu, ketika masalah
itu adalah orang- orang di sekitar lo, ketika lo merasa hidup lo udah ga ada
artinya, tekankan lah bahwa ada satu pihak yang selalu ada di sisi lo, no
matter how hard your life is.
He is GOD.[1]
Stick on
your mind that even in the hardest part of your life, the toughest problem you
ever face, the sickest people you deal with; Remember, You’ll Never Walk Alone.
Dalam kasus
sebelumnya, memang cobaan yang dialami si ibu itu berat, TETAPI dia lupa bahwa
selalu ada TUHAN yang bersamanya. Dia lupa bahwa ada yang namanya DOA dan
MEMOHON kepadanya. Pada akhirnya, hanya TUHAN-lah tempat kita bergantung. Dan,
hal itu dilkakukan oleh mas- mas berbaju koko. Meskipun hidupnya sulit dan
penuh cobaan, dia tetap beristiqomah dan menyerahkan segala hasil dari jerih
payahnya pada TUHAN. He does believe in God.
Tulisan gue
ini mungkin terbaca seperti seorang yang hipokrit. Gue juga terkadang ‘menjauh’
dari-Nya ketika ditimpa masalah. Tapi pengalaman gue ini banyak membuka
pemahaman gue tentang hidup. Setiap oraang punya jalan hidupnya masing- masing.
Mereka pun pasti mempunyai masalahnya sendiri- sendiri. Dan, semua bergantung
pada diri mereka lagi, entah berserah kepada tuhan atau malah menjauh darinya.
***
Percakapan
gue dengan mas-mas-berbaju-koko itu pun berakhir ketika kita sama- sama masuk
kereta.
No comments:
Post a Comment
Share you wacky thought, buddy!